cinta negeri

Pagi ini saya membaca sebuah artikel menarik mengenai sistem pendidikan di sebuah negara, hasil share link seorang teman sesama guru. Saya baca artikelnya dengan semangat dan seksama. Artikel tersebut bagus, sangat bagus. Namun di ujung tulisan tetap membanding-bandingkan Indonesia dengan negara tersebut. Menurut saya, kok agak lebay. Masih banyak kok yang bisa kita lakukan di negeri ini. Bukan negara, tapi negeri. Saya lebih suka menyebut negeri, rasanya seolah tidak memasukkan unsur pemerintahan saja di situ. Jika saya menyebut negara, berarti saya membicarakan sistem prosedur di indonesia, dan itu membicarakan masalah2 pemerintahan yang gak ada habisnya. Ini menurut saya loh.

Di artikel tersebut, diceritakan betapa buruknya sistem pendidikan di negeri ini. Tentang UN dan sebagainya. Gak perlu les, dan sebagainya. Semakin membaca artikel tersebut, otak saya berkata untuk tidak menyetujuinya. Pasalnya apa? kalo kita terus-terusan membandingkan dengan negara lain, kita akan kelelahan sendiri, dan akhirnya berujung pada produktivitas kerja. Jaman sekarang biarkan saja lah apa yang terjadi. Kita mau ubah keadaan bagaimana? mau ubah negara? dengan penurunan presiden sekarang seperti tahun 1998? Pemulihan pasca itu toh tidak menajmin sebuah negara menjadi lebih maju, mandiri, dan kreatif. Yang ada malah trial eror, coba cara ini dan itu. Seperti membangun sebuah negara baru yang dilakukan oleh para pendiri republik ini. Akhisnya metode coba-coba inilah yang dilakukan oleh pemerintahan pasca itu. Terbukti pada bergantinya kebijakan setiap ada pergantian kepemimpinan. Dan ini terjadi pada kurikulum kita. Tidak ada yang perlu disalah-salahkan. Semua sudah terjadi.

Saya, sebagai guru les, memilih berhenti berdebat kusir mengenai baik buruknya jalannya pemerintahan ataupun orang-orang yang menjabatnya. Saya bisikkan pada diri saya, hei kamu gak tau kapan kamu mati. Waktu terus berlalu. Bila tiba saatnya akan ditanya sang Khalik, apa yang kamu lakukan sepanjang hidupmu? apa yang sudah kamu kontribusaikan?, lalu apa jawabanku. Saya berhenti untuk ikut-ikutan bergosip di socmed menjelek-jelekkan  orang, karena saya sadar, saya bukan orang baik. Saya pernah melakukan kesalahan. Bila saya di posisi yang sama, saya sudah pasti akan bingung apa yang harus saya lakukan. Semua serba salah. Maka saya sangat menikmati apa yang saya lakukan sekarang. Menjadi guru les privat. Saya katakan pada anak-anak yang sedang persiapan UN (kelas 6, 9, 12). Tidak perlu merasa pintar atau bodoh untuk dapat nilai UN 10. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk dapat nilai 10. Asalkan strateginya pas. Tidak perlu merasa stres atau terrtekan. Bila pemerintah terkesan kejam dengan adanya UN, maka saya menyarankan untuk kejam juga sama UN, gak perlu pake perasaan. Lakukan saja yang bisa dilakukan, diantaranya membuat jadwal belajar harian. Belajarnya pun sambil santai, durasi 10 menit – 1 jam setiap hari sesuai jadwal. Rata-rata konsentrasi anak hanya 15-20 menit. Saya ajarkan juga tentang Strategi penggunaan LJK, ibadah yang rajin, doa restu orang tua, dsb. Hal-hal pendukung UN biasanya saya buka di awal semester. Banyak kejadian terbalik, anak-anak yang diunngulkan seringkali dapat nilai jelek dibanding anak2 yang tidak diunggulkan. Ada banyak keajaiban di UN.

Menurut saya sih, daripada marah-marah melulu, tapi UN tetap ada dari tahun ke tahun. Ya sudahlah jalani saja. Apa yang bisa kita kerjakan ya kerjakan saja. Pada dasarnya manusia diciptakan untuk bisa hidup di segala kondisi. Les tetap perlu, untuk membuka rahasia2 UN, untuk menjaga mental anak2. Setelah anak2 merasa enjoy dengan UN, baru saya masukkan pemahaman-pemahaman materi, untuk apa materi-materi itu berguna bagi kehidupan. Memang sih, tak semuanya bisa mencukupi, pertemuan hanya 2x seminggu. Tidak seperti di sekolah yang setiap hari. Paling tidak ada memori lain, memberi kesan lain tentang belajar dan les. Di tempat saya, les hampir tidak pernah ada tes tertulis seperti bimbel-bimbel lain. Ini akan menghabiskan banyak waktu dan hanya sedikit materi yang bisa tersampaikan dengan kefahaman. Biasanya saya bertanya balik sebelum mereka pulang apa yang telah dipelajari hari itu. Model diskusi, pembuktian rumus, dan praktik juga saya lakukan. Saya tahu saya masih banyak kesalahan dan kekurangan. Saya hanya bisa berikan yang terbaik buat siswa dengan segenap hati saya. Di dalam belajar, seringkali kami bukanlah guru dan siswa, tetapi teman yang saling mengingatkan bila saya salah.

Saya tetap cinta negeri ini, apapun keadaannya. Seberapapun carut marutnya, pemerintahannya, bencana alam yang disalah-salahkan karena pemerintahnya korup. Pernahkan kita menyadari bahwa terkadang kita juga korup? korup waktu bekerja, datang terlambat, pulang awal. Memakai fasilitas kantor sebagai gratisan untuk keperluan pribadi. Menggunakan waktu bekerja untuk nyuri2 ngerjain bisnis pribadi. Apa itu juga ga korup? korup waktu janji bertemu, korup waktu untuk keluarga karena banyak bekerja. Korup waktu ibadah, yang sudah sedikit, masih didiskon lagi karena alasan mengejar pekerjaan dan urusan dunia lainnya. Korup antrian, nyerobot aja padahal orang lain yang lebih dahulu sedang mengantri. Banyak hal korup yang tanpa disadari. Saya pun masih melakukannya. Terkadang masih telat ngajar, dan bablas keasikan ngajar padahal waktunya sudah habis. Saya masih perlu banyak belajar, maka saya juga mencoba berhenti untuk menghujat orang lain yang dikatakan korup. Korup ga hanya harta kan, tapi bisa juga hal lainnya.

Belajar menerima keadaan yang terjadi sekarang ya seperti ini. Pertanyaan yang perlu dijejalkan setiap hari adalah : “Apa yang bisa kulakukan?” , fokus pada hal-hal yang bisa dikerjakan. Bukan pada hal-hal yang negatif. Belajar pada negara lain boleh, tapi membandingkannya, hanya akan menggeser fokus pada hal-hal yang lebih buruk. Bisakah kita mulai dari diri sendiri dan sekarang? secara kontinyu? Perubahan dimulai dari hal-hal seperti itu

Bulan ini 7 tahun lalu, saya pertama kali menerima seorang siswa yang luar biasa. Dia tidak seperti anak-anak lain, punya keistimewaan yang beda dengan lainnya. Istilah medisnya gak tau. Belakangan diketahui, dia anak indigo dan berkebutuhan khusus. Saat itu saya menerimanya sebagai seorang murid dengan penuh kasih sayang. Hebatnya lagi, orang tuanya menyekolahkannya di sekolah negeri dan harus ikut UN setara dengan anak-anak lainnya. Guru kelasnya sudah menyerah karena nilai-nilainya paling besar 4. Saya fokuskan apa yang bisa saya lakukan. Alhamdulillah nilainya UN nya saat itu 22. Artinya rata-rata di atas 7. Sejak saat itu saya ketagihan untuk ngajar. Semoga mimpi-mimpi saya bisa tercapai untuk membantu anak-anak lain yang perlu pertolongan. Angka 7 bukanlah menjadi ukuran keberhasilan, melainkan baru dimulainya perjalanan pengabdian, baru mau masuk SD hehe … Doakan semoga seya sehat selalu, agar bisa memberikan yang terbaik buat keluarga dan anak-anak negeri.

Gambar

Tumbuhlah, kejar cita-cita setinggi langit di angkasa, kami support apapun yang kamu butuhkan, Semoga masih bisa berdedikasi tanpa batas waktu

9 responses to “cinta negeri

  1. Salam Takzim
    setuju mbak untuk tetap diam dalam mensikapi sebuah artikel yang nyata nyata menjelekkan bangsa sendiri, sementara yang menshare tinggl didalamnya. lebih baik tetap berkarya dari pada seperti itu.
    Salam Takzim Batavusqu

  2. apapun sistemnya, yg ptg usaha dan doa hehehe …

    pa kabar bu ?

  3. Kamu bakal jadi guru yg super utk murid2mu jeung. Smangattttt…

    Eh, aku berkunjung loh iniiiihhhh :-*

Tinggalkan Balasan ke Bisnis Indonesia Batalkan balasan